Senin, 07 Juli 2008

Degradasi Nilai (Sejak Dini)

"Mau menyekolahkan anak ke Sekolah Dasar saja, ternyata harus bayar. Kata guru itu, untuk uang tanda tangan," keluh seorang tetangga saya usai mengantar anaknya mendaftar ke sekolah.

Lain lagi keluhan seorang ibu rumahtangga di dekat rumah saya. Katanya, dia merasa menyesal dulu tidak memindahkan sekolah anaknya, karena di sekolah lain, ternyata bisa mengatrol Nilai Ebtanas Murni (NEM) sesuai permintaan, asal disediakan amplop sesuai selera sang kepala sekolah.

Oknum kepala sekolah atau guru bisa saja mengelak dan menegaskan, masuk ke sekolah mereka tidak dikutip bayaran atau NEM tidak bisa diutak-atik. Tetapi, faktanya masuk SD saja sudah diminta uang tanda tangan dan seorang anak didik yang merasa dirinya tidak pintar terkejut, karena NEM nya sangat tinggi.

Tradisi suap, dengan demikian, sudah berlangsung dengan rapi hampir di semua sektor kehidupan kita.Keharusan membayar saat masuk SD serta penentuan nilai kelulusan (NEM), disadari atau tidak, telah membuat mentalitas anak didik (generasi muda bangsa) tercemari.

Ketika guru di sekolah meminta anak didiknya membawa amplop, saat menerima surat tanda lulus, itu merupakan sebuah pemandangan yang tidak mendidik sekaligus akan menjadi kenangan buruk di benak peserta didik ketika kelak telah tumbuh memasuki usia dewasa.

Sementara di sisi lain, orangtua yang sengaja menggelontorkan sejumlah uang supaya NEM anaknya tinggi, juga akan memberi dampak buruk bagi anak di kemudian hari. Akan muncul di dalam diri anak, bahwa tanpa belajar dengan keras pun, nilai bagus bisa diraih (asal ada uang pelicin).

Untuk itu, kita tak perlu heran kalau banyak orang ditangkap KPK karena kasus suap, karena tradisi suap sejatinya sudah diajarkan sejak dini di sekolah dan di rumahtangga. Tepatnya, degradasi nilai di negeri ini sudah tertanam sejak dini.

Degradasi nilai sejak dini tidak hanya bisa dilihat anak dari tradisi suap yang terjadi lewat bangku sekolah, melainkan juga melalui layar kaca yang saban hari mempertontonkan tayangan menawarkan gemerlap kehidupan serta rupa-rupa program instant menuju sukses.

1 komentar:

  1. Setuzzu saya dengan bapak. Zangan-zangan kepala sekolah atau guru-guru yang sekarang ini suka melakukan pungli itu dulunya zuga mantan korban pungli. Zadinya balas dendam lah dia! Atau mungkin mereka itu tak punya anak. Sabarlah kita, bapak! Nanti kalau ada kesempatan, gantian kita pungli mereka hingga tuzuh turunan. Cemana, sossoknya, kan ???

    BalasHapus

Mengenai Saya

Foto saya
:pemerhati sosial dan politik yang concern dengan pemikiran lintas sektoral,selalu menghargai perbedaan pendapat sekaligus membenci sikap eksklusif dan mau menang sendiri....