Sabtu, 26 Juli 2008

Parpol & Monopoli Ketua

Elite partai politik sering mengidentifikasi diri sebagai pionir penegakan demokrasi. Parpol juga masih dianggap sebagai kawah candradimuka pematangan kemampuan berdemokrasi.

Tetapi, sesungguhnya disadari atau tidak, fenomena yang berkembang di tubuh parpol kita selama ini justru memberikan gambaran yang sangat jauh melenceng dari identifikasi dan anggapan umum tentang keberadaan parpol tersebut.

Yang dominan dan berlaku dalam tubuh parpol kita adalah personalisasi ; semua keputusan yang berlaku tergantung dan terserah Ketua.

"Saya tak bisa memutuskan, tolong hubungi Pak Ketua saja," begitu ungkapan salah seorang pimpinan parpol ketika ditanya, apakah parpolnya bisa memberikan dukungan kepada salah satu bakal calon kepala daerah.

Hal seperti ini biasa dan sangat lazim terjadi. Salah seorang Ketua Tim Pilkada parpol besar di Sumut misalnya mengeluh, dirinya percuma saja capek-capek melakukan lobi-lobi dan survei ke lapangan perihal siapa figur bakal calon kepala daerah yang disukai rakyat.

"Ujung-ujungnya, keputusan akhir ditentukan Ketua dan Sekretaris. Apapun rekomendasi kita, kalau Ketua tak berkenan percuma saja," ujarnya.

Megawati Soekarnoputri, Jusuf Kalla, Sutrisno Bachir, Suryadharma Ali, sebagai Ketua Umum partai, ucapan dan tindakannya sudah dianggap seperti undang-undang bagi para pengurus dan kader partai.

Apa yang diputuskan Megawati misalnya, tentu mustahil bagi kader PDIP untuk membantah dan mengangkanginya. Kalau berani, siap-siaplah direcall dan atau tidak lagi dipakai menjadi pengurus.

Monopoli Ketua yang sangat dominan itu sudah pasti menimbulkan iklim yang tidak sehat di tubuh parpol.

Parpol bicara dan menekankan pentingnya menegakkan nilai-nilai demokrasi, tak dinyana para pimpinan parpol sendiri cenderung bergaya dan bersikap diktator.

Itulah sebabnya aktivis parpol yang suka mengikuti hati nurani dan tidak pandai 'menjilat', kerap tidak mendapat peran penting di internal partai, dan akhirnya lebih memilih keluar dari parpol yang dimenej bak sebuah 'kerajaan' itu.

Jumat, 25 Juli 2008

Fanatisme Bollywood

Saya merasa bersyukur, karena sebagai penonton film, saya tidak fanatis kepada jenis film tertentu. Sejak masih duduk di bangku sekolah dasar hingga sekarang, saya menyukai segala jenis film.

Ketika masih kanak-kanak dan menjelang remaja saya sudah akrab dengan nama-nama bintang film terkenal dari negeri sungai Gangga semisal Dev Anand, Dharmendra, Amitabh Bachchan, Shashi Kapoor, Shatrughan Sinha, Sharmila Tagore, Hema Malini, Zeenat Aman, Mumtaz, Rekha atau Jaya Bhaduri.

Saya juga masih terkenang dengan film-film yang dibintangi Chen Kuan Thai, Fu Sheng, Chen Sing, David Chiang, Wang Tao, Lin Ching Sia, Carina Lau, atau aktor-aktor Hollywood semisal Marlon Brando, Charles Bronson, Jean Paul Belmondo, Raquel Welch, Gina Lollogribida, Ursula Andress, Jacqueline Bisset, dll.

Namun industri film Bollywood, memang sebuah perkecualian dan sangat berbeda dibandingkan dengan industri film negara lain. Bollywood seolah tidak mengenal pasang surut seperti halnya industri film Indonesia.

Bollywood tetap eksis, sejak mulai ada sekitar tahun 40-an hingga sekarang.Setiap tahun dari ratusan film yang diproduksi, terdapat puluhan film yang berstatus mega hit, hit, semi hit, dan flop.

Sungguh mencengangkan, industri film negerinya Mahatma Gandhi itu sama sekali tidak terpengaruh dengan maraknya televisi swasta dan berbagai jenis hiburan lainnya. Last not but least, film impor dari Hollywood justru jarang mendapat tempat di negeri itu.

Karena pesatnya produksi film di sana, tak mengherankan bila aktor sekaliber Dharmendra, Shashi Kapoor, Rishi Kapoor, Amitabh Bachchan, Mithun Chakraborthy, Govinda, sudah membintangi 100 hingga 200 film sepanjang karier mereka.

Apresiasi masyarakat terhadap bintang-bintang layar perak itu juga sungguh mengejutkan dan terkadang tak masuk akal. Masyarakat India misalnya, sering memperlakukan para aktor legendaris dan top sekaliber Raj Kapoor, Dilip Kumar, Dharmendra, Amitabh 'Big B' Bachchan, Salman Khan, Shahrukh Khan, bak 'dewa' yang datang dari planet lain.

Ya, mereka memang sangat fanatis. Ketika Dharmendra, Sunil Dutt, Big B, Hema Malini, Vinod Khanna, Govinda, Jayalalitha, atau Jaya Prada misalnya suatu ketika ingin beralih profesi menjadi politisi, mereka dengan sangat mudah mendulang suara dan menghantarkan mereka menjadi anggota parlemen.

Fanatisme masyarakat India sebenarnya tak berhenti pada film produk Bollywood saja.Di negeri itu juga muncul istilah Tollywood dan Kollywood, sebutan untuk karya film dihasilkan sineas daerah dari Tamil, Telugu dan Malayalam.

Tepatnya, di sana juga berkembang pesat film berbahasa daerah yang memiliki pangsa pasar tersendiri. Kalau di negeri kita, mungkin film berbahasa Batak, Sunda atau Jawa.

Begitu fanatisnya mereka terhadap film karya sendiri. Sampai-sampai film Bollywood (berpusat di kota Mumbai) dan beredar ke seluruh negeri, dianggap belum cukup, sehingga dipandang perlu membesut film dari daerah sendiri.

Dan sineas di daerah-daerah India tadi bukan sekadar hadir, melainkan bekerja sangat profesional. Industri perfilman daerah ini juga melahirkan nama-nama melegenda seperti Sivaji Ganeshan, Jayalalitha,Rajnikant,Kamal Hassan, Chiranjeevi, Nagarjuna, Vijaykant, Sarath Kumar, Gowthami, Radhika, Khushboo, Simran, Rambha, dll.

Bahkan music director number one di Bollywood saat ini, AR Rahman, justru tumbuh dan memulai kariernya dari perfilman daerah di Chennai (Tamil).

Kalau dihitung semua film karya sineas India itu, mungkin terdapat ribuan film yang dihasilkan setiap tahunnya. Sangat njomplang bila dibandingkan dengan produksi film Indonesia. Di tengah booming film horor setahun silam pun, jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari.

Kecintaan masyarakat mayoritas beragama Hindu itu terhadap film karya anak negeri sungguh mengagumkan. Fanatisme Bollywood tidak ada tandingannya dan tidak akan pernah luntur sepanjang zaman. Namaste...mera dosti, jaihind.

Selasa, 22 Juli 2008

Latah Jadi Caleg

Ada fenomena menarik menjelang Pemilu (legislatif) 2009. Saat ini banyak orang latah menjadi calon legislatif (caleg).

Tak cuma orang berduit saja yang tertarik jadi caleg. Artis, wartawan, mantan pejabat, berlomba-lomba mendaftar menjadi caleg. Bahkan ironisnya sejumlah kaum pengangguran juga tak ketinggalan ngantri menjadi caleg.

Terungkapnya kebobrokan sejumlah anggota dewan, yang menyebabkan mereka terpaksa mendekam di hotel prodeo, ternyata tak menurunkan antusiasme banyak kalangan menjadi caleg.

Banyaknya jumlah parpol (34) peserta Pemilu 2009 memang membuat kans menjadi caleg sangat terbuka lebar. Bahkan parpol baru pun cenderung menemui kesulitan mencari caleg.

Konsekuensinya,pimpinan parpol terpaksa merekrut orang-orang dekatnya atau siapapun yang berminat jadi caleg demi memenuhi kuota minimum daftar caleg yang harus didaftarkan ke KPU. Mereka beranggapan, semakin banyak daftar nama caleg yang didaftarkan akan semakin positif pula imej parpol di tengah masyarakat.

Karena butuh banyak orang mengisi jatah menjadi caleg itu, bisa ditebak, rekrutmen caleg akhirnya dilakukan secara sembarangan alias tanpa seleksi dan kriteria yang jelas.

Jadi, kita tidak perlu heran dan terkejut, bila para bandit, koruptor, jagoan selingkuh, wartawan asli tapi palsu (punya media resmi tapi sama sekali tak pernah bikin berita), lolos jadi anggota dewan periode 2009-2014.

Jika itu yang terjadi, kita hanya bisa berharap agar KPK melebarkan sayapnya hingga ke daerah, supaya para anggota dewan tak berbobot dan sibuk memperkaya diri itu bisa segera mengikuti jejak M Yahya Zaini, Al-Amin Nasution, Bulyan Royan, Yusuf Amir Faisal, dll.

Jumat, 18 Juli 2008

Dicari, Pemimpin Alternatif !

Ajang perhelatan pilpres 2009, tidak lama lagi. Sejumlah nama sudah mulai sibuk mempersiapkan segala sesuatu agar dapat tampil sebagai peserta pemilihan presiden itu.

Sayangnya nama-nama yang disebut-sebut akan tampil dalam pesta demokrasi maha penting itu, tidak ada yang meyakinkan alias belum ada yang memberi harapan baru mencerahkan bagi rakyat.

Figur yang disebut dan berambisi menjadi RI-1 masih tetap itu-itu saja. Sebutlah misalnya Presiden (incumbent) SBY, Jusuf Kalla, Megawati Soekarnoputri, Gus Dur, Amien Rais, Sri Sultan Hamengkubowono, Wiranto, Sutiyoso, dan Prabowo Subianto.

Dari semua nama kandidat Presiden RI ini, sudah jelas rekam jejaknya dan sudah ketahuan pula plus-minusnya. Dengan kata lain, semuanya tidak ada yang benar-benar bisa diharapkan membawa Indonesia menuju perubahan radikal (ke arah kebaikan).

SBY, yang dulu begitu diyakini akan bisa memberi perubahan mendasar bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Ternyata prestasinya bisa dibilang biasa-biasa saja, bahkan bisa dianggap gagal dalam mewujudkan janji-janji kampanyenya.

Dari beberapa nama itu, sebetulnya Amien Rais masih bisa diharapkan sebagai pemimpin alternatif, karena sosoknya yang berbeda ; memiliki kecerdasan intelektual di atas rata-rata, punya keberanian, serta relatif bersih dari KKN dan dosa politik di masa lalu.

Sayangnya seperti halnya Wiranto dan Megawati, Amien telah pernah gagal saat ikut bersaing dalam Pilpres 2004. Orang yang sudah pernah gagal, sulit untuk bisa comeback. Lagi pula usia mantan Ketua MPR ini sudah relatif tua.

Sebenarnya rakyat mendambakan sosok pemimpin alternatif ; yang masih muda, energik, tidak punya track record politik yang kelam di masa silam, serta punya kapasitas dalam memimpin.

Sosok yang dimaksud mungkin seperti Barack Hussein Obama di AS atau Medvedev di Rusia.

Figur seperti Obama dan Medvedev, saat ini sulit menemukannya di negeri ini. Para politisi muda yang banyak menghiasi panggung politik nasional saat ini justru sudah banyak terkontaminansi akibat budaya politik tak sehat di Senayan dan di internal parpol.

Sementara mantan aktivis ekstra kampus hingga kini belum ada terlihat menonjol. Di sisi lain mereka yang dianggap kredibel saat ini lebih banyak menggeluti profesi sebagai akademisi, peneliti, pengamat atau malah mendompleng di bawah ketiak para politisi senior.

Karena ketiadaan figur pemimpin alternatif yang diharapkan bisa membawa rakyat menuju Indonesia Baru (the new Indonesian) yang benar-benar bebas KKN, besar kemungkinan SBY akan kembali terpilih sebagai Presiden periode kedua, karena rakyat tidak punya pilihan lain (not another choice).

Jumat, 11 Juli 2008

Kompetensi, Tak Tergantung Jabatan

Seorang teman saya, dulu sama-sama menjadi jurnalis. Kini sudah sekitar empat tahun duduk dengan bangganya sebagai anggota legislatif.

Banyak sudah perubahan dalam dirinya. Tentu yang paling mencolok, soal performance dan kepribadiannya. Karena sudah jadi anggota dewan, teman saya ini tak lagi punya waktu luang untuk sekadar ngobrol dengan teman-temannya dulu di kantin dewan.

Cuma satu hal yang tak berubah dari teman saya itu. Ternyata dia masih tetap seperti dulu, seorang jurnalis biasa-biasa saja, tak punya nilai plus seperti jurnalis berkelas di Sumut semisal sulben siagian, nian poloan, riza fakhrumi tahir, mayjen simanungkalit, toga nainggolan, abyadi siregar, ali murtadho, dll.

Ketika telah berstatus sebagai anggota dewan, teman saya ini sama sekali tak pernah 'dihitung' dan dikenal sebagai wakilnya rakyat. Dia hanya sebatas pelengkap administrasi dan berhak menerima honor setiap bulannya.

Mengapa demikian ? Ternyata, teman saya itu cuma kebetulan saja lolos jadi anggota dewan karena menjelang Pemilu 2004 lalu, ditawari jadi caleg oleh parpol baru yang kelimpungan mencari caleg perempuan.

Peran dan keberadaan seseorang dalam sebuah institusi apa pun, tak ditentukan dan tidak selamanya tergantung pada jabatan.

Orang-orang seperti amien rais, goenawan mohamad, kwik kian gie, emha ainun nadjib, ws rendra, eros djarot, gus dur, franz magnis suseno, sofyan tan, dll ; akan tetap dikenang dan dicari, dengan atau tanpa jabatan apa pun.

Sebaliknya orang seperti al-amin nasution, max moein, bulyan rohan, dan beberapa menteri hanya sekadar numpang lewat saja karena kebetulan mereka memiliki jabatan yang dianggap terhormat.

Jabatan apa pun yang melekat dalam diri seseorang, tidak akan membuatnya dominan dalam memberi pengaruh positif terhadap policy institusi dipimpinnya jika tidak memiliki kompetensi (capability and acceptability).

Jabatan hanyalah sebuah kesempatan dan dalam terminologi orang Timur sangat banyak dipengaruhi 'suratan tangan'. Sedangkan kompetensi mewujud karena terus diasah lewat proses pembelajaran (educated) serta kemauan untuk terus membenahi diri (learning by doing).

Berhenti Sebatas Jargon

Dalam setiap kesempatan, politisi dan pejabat selalu berbicara soal pentingnya meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Mereka juga menekankan keharusan menjaga persatuan dan kesatuan ; memperkokoh silaturrahmi tanpa memandang latar belakang suku, agama, ras dan antar-golongan.

Aparat penegak hukum berkoar-koar tentang komitmen melakukan penegakan hukum (law enforcement) tanpa pandang bulu.

Tapi faktanya semua itu hanya mengejawantah sebatas jargon-jargon belaka. Pemihakan terhadap rakyat cuma lip service. Keharusan memperkokoh silaturrahmi hanya sebuah utopia.

Last but not least, soal law enforcement pun cuma bualan saja. Sebab yang terjadi justru kebalikannya, aparat penegak hukum masih suka 'tebang pilih' dan mudah tergoda iming-iming fulus.

Politisi dan pejabat yang bicara soal perlunya meningkatkan kesejahteraan rakyat, hanya sekadar memberi angin surga, tanpa disertai bukti. Perhatian kepada rakyat hanya terlihat menjelang Pemilu atau Pilkada saja.

Sejatinya, kiblat politisi, pejabat dan penegak hukum itu, masih tetap sama : KEPENTINGAN. Kepentingan bisa membuat mereka memiliki visi dan persepsi sama, dan kepentingan pula kerap membuat mereka saling mendiskreditkan satu dengan yang lain.

Sayangnya kepentingan mereka tentang keharusan berpihak kepada rakyat, perlunya memperkokoh fondasi nation building serta komitmen menegakkan hukum, senantiasa berhenti sebatas jargon....!

Kamis, 10 Juli 2008

Semakin jauh dari-NYA

Kehidupan di dunia ini hanya sementara.
Mereka menyadari sepenuhnya, kelak akan ada kehidupan nan abadi, di akhirat.

Mereka juga percaya, setiap kebaikan atau perbuatan kasih akan dibalas dengan kebaikan atau kedamaian. Sebaliknya setiap kejahatan (perbuatan dosa) akan menuai azab nan pedih dariNYA.

Sudah banyak bukti, betapa mereka yang bergelimang kemaksiatan dan keangkaramurkaan, disadari atau tidak, sudah bisa merasakan langsung akibat perbuatannya itu (di dunia).

Tetapi ntah kenapa, kendati percaya sepenuhnya, bahwa Tuhan itu ada dan Maha Berkuasa serta kelak akan ada kehidupan nan abadi di surga, mereka tetap saja (dengan penuh kesadaran) menjauh dari-Nya, bahkan terus dan terus semakin menjauh.

Mereka pun tau kebajikan akan memuluskan peluang untuk lolos dan memperoleh 'tiket' ke surga. Tapi nyatanya, mereka tetap saja gampang berkata dusta, seolah berbohong bukan dosa atau seperti tradisi politisi dan pejabat kita, yang menganggap korupsi sebagai sesuatu yang lumrah.

Mereka juga pasti tahu, ketika menjauh dari-NYA, DIA juga akan pergi menjauh. Tuhan tentu tidak akan menolong hambaNYA yang senantiasa alpa dan tidak pernah mau menolong-NYA.

Ntah sampai berapa lama lagi, mereka membohongi hati nurani dan hidup dalam kehampaan. Bilakah aku, kita dan mereka segera kembali ke jalan-MU ?

I don't know, semua terserah kita.....

Selasa, 08 Juli 2008

Bonus Cewek

Dalam rekaman percakapan anggota DPR-RI Al-Amin Nasution dengan Sekda Bintan Azirwan, wakil rakyat kita yang satu ini tak cuma minta uang, tetapi juga berharap agar disediakan bonus cewek. Hi...hi...hi....

Apa yang dilakoni Al-Amin Nasution itu sebenarnya sudah menjadi rahasia umum. Seperti halnya Yahya Zaini dan Max Moein, sebenarnya Amin Nasution cuma ketiban sial saja.

Kalau saja KPK menyadap semua HP anggota dewan dan pejabat di negeri ini, dapat dipastikan akan sangat banyak sekali diperoleh fakta yang mengejutkan perihal perilaku sejumlah oknum pejabat dan anggota dewan yang memang suka ditemani cewek-cewek cantik.

Oknum pejabat suka disediakan bonus cewek sudah berlangsung sejak lama. Bahkan tidak cuma itu saja, terdapat pula oknum pejabat yang memiliki istri simpanan atau cewek, yang selalu siap memberi servis memuaskan.

Pejabat dan anggota dewan dari daerah yang kebetulan sedang ada tugas di Jakarta, lazimnya di sela-sela tugasnya akan menyempatkan diri mendatangi tempat-tempat hiburan (karaoke), sekalian mencari cewek yang sesuai dengan selera mereka.

Sebaliknya pejabat pusat yang datang ke daerah, beberapa di antaranya meminta agar dicarikan cewek untuk menemaninya mengusir rasa sepi di tempatnya menginap.

Begitulah tabiat beberapa oknum pejabat dan anggota dewan. Sudah punya istri cantik dan setia di rumah, masih juga mencari wanita-wanita penghibur, yang tanpa disadari bisa menularkan penyakit kelamin.

Soal pejabat/ anggota dewan pecandu wanita itu pada akhirnya hanya soal nasib saja. Ada yang ketiban sial dan perilaku maksiatnya terungkap. Banyak pula yang senyum-senyum, karena hingga kini masih bisa menyembunyikan perilaku a moralnya.

Bagi mereka yang belum terungkap kebejatan moralnya, jangan cepat-cepat merasa berpuas diri. Cepat atau lambat, kebusukan akan tercium juga. Tidak di sini (dunia), setidaknya di akhirat nanti Anda akan memperoleh azab yang pedih dariNYA.

Rakyat tak Butuh Parpol !

Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan 34 partai politik (parpol) nasional dan 6 parpol lokal di NAD lolos sebagai peserta Pemilu 2009. Ke-34 parpol itu terdiri atas 16 parpol lama yang memiliki kursi di DPR dan 18 parpol baru yang lolos dalam verifikasi faktual.

Jumlah parpol yang begitu banyak itu, apapun azas dan lambangnya, pasti tujuannya sama, bermaksud meraih kursi legislatif sebanyak-banyaknya sebagai modal dasar untuk ikut berperan dalam menentukan hitam-putihnya negeri ini.

Jumlah 34 parpol peserta Pemilu 2009, merupakan jumlah yang irrasional. Fakta ini sekaligus bermakna KPU kurang punya nyali dan terlalu akomodatif.

Mestinya lambat laun jumlah parpol peserta Pemilu mengalami penurunan secara evolutif, bukan malah bertambah.

Dari segi demokratisasi Indonesia sebenarnya sudah banyak mengalami kemajuan. Indikatornya, keterlibatan rakyat secara langsung dalam menentukan siapa yang layak menjadi pimpinannya (lewat pilkada dan pilpres).

Tetapi melihat banyaknya parpol peserta Pemilu 2009 itu, demokrasi Indonesia kembali mengalami kemunduran (setback). Dalam hal ini KPU tidak memiliki keberanian melakukan reifikasi (penyederhanaan) parpol.

Jumlah parpol yang overdosis itu, justru hanya akan menambah bingung rakyat Indonesia. Apalagi selama ini rakyat sebenarnya sudah mulai 'muak' dengan perilaku para politisi.

Rakyat sebenarnya tak lagi butuh parpol. Yang dibutuhkan rakyat adalah tersedianya lapangan pekerjaan, pelayanan kesehatan gratis, harga sembako yang terjangkau serta tersedianya pendidikan berkualitas sekaligus murah.

Rakyat tak butuh parpol, karena sudah terbukti parpol tidak bisa memberikan apa-apa. Pimpinan parpol selama ini hanya bisa memperjuangkan kepentingannya dan hanya ingat kepada rakyat menjelang Pemilu saja.

Rakyat tak butuh parpol, karena parpol sudah terlalu sering membohongi rakyat dengan janji-janji muluk tanpa bukti.....!

Senin, 07 Juli 2008

Degradasi Nilai (Sejak Dini)

"Mau menyekolahkan anak ke Sekolah Dasar saja, ternyata harus bayar. Kata guru itu, untuk uang tanda tangan," keluh seorang tetangga saya usai mengantar anaknya mendaftar ke sekolah.

Lain lagi keluhan seorang ibu rumahtangga di dekat rumah saya. Katanya, dia merasa menyesal dulu tidak memindahkan sekolah anaknya, karena di sekolah lain, ternyata bisa mengatrol Nilai Ebtanas Murni (NEM) sesuai permintaan, asal disediakan amplop sesuai selera sang kepala sekolah.

Oknum kepala sekolah atau guru bisa saja mengelak dan menegaskan, masuk ke sekolah mereka tidak dikutip bayaran atau NEM tidak bisa diutak-atik. Tetapi, faktanya masuk SD saja sudah diminta uang tanda tangan dan seorang anak didik yang merasa dirinya tidak pintar terkejut, karena NEM nya sangat tinggi.

Tradisi suap, dengan demikian, sudah berlangsung dengan rapi hampir di semua sektor kehidupan kita.Keharusan membayar saat masuk SD serta penentuan nilai kelulusan (NEM), disadari atau tidak, telah membuat mentalitas anak didik (generasi muda bangsa) tercemari.

Ketika guru di sekolah meminta anak didiknya membawa amplop, saat menerima surat tanda lulus, itu merupakan sebuah pemandangan yang tidak mendidik sekaligus akan menjadi kenangan buruk di benak peserta didik ketika kelak telah tumbuh memasuki usia dewasa.

Sementara di sisi lain, orangtua yang sengaja menggelontorkan sejumlah uang supaya NEM anaknya tinggi, juga akan memberi dampak buruk bagi anak di kemudian hari. Akan muncul di dalam diri anak, bahwa tanpa belajar dengan keras pun, nilai bagus bisa diraih (asal ada uang pelicin).

Untuk itu, kita tak perlu heran kalau banyak orang ditangkap KPK karena kasus suap, karena tradisi suap sejatinya sudah diajarkan sejak dini di sekolah dan di rumahtangga. Tepatnya, degradasi nilai di negeri ini sudah tertanam sejak dini.

Degradasi nilai sejak dini tidak hanya bisa dilihat anak dari tradisi suap yang terjadi lewat bangku sekolah, melainkan juga melalui layar kaca yang saban hari mempertontonkan tayangan menawarkan gemerlap kehidupan serta rupa-rupa program instant menuju sukses.

Kekuasaan Sering Menyesatkan

"Power tends to corrupt (kekuasaan cenderung mendorong seseorang untuk korup)".

Ungkapan cendekiawan dan sejarawan Inggris terkenal Lord Acton (1834-1902) ini tetap relevan dan aktual hingga kini.

Ya, begitulah faktanya, sudah terlalu banyak bukti betapa seseorang tatkala berada di kursi kekuasaan tak kuasa menahan godaan untuk melakukan penyimpangan (abuse of power).

Soeharto (Indonesia), Marcos, Joseph Estrada (Philipina), Mobutu Sese Seko (Zaire), Sani Abacha (Nigeria), Slobodan Milosevic (Yugoslavia), Jean-Claude Duvalier (Haiti), Alberto Fujimori (Peru), Pavlo Lazarenko (Ukrania), dan Arnoldo Aleman (Nikaragua), adalah beberapa contoh pemimpin yang banyak menumpuk harta ketika berada di pucuk kekuasaan.

Kekuasaan telah memberikan segalanya bagi mereka. Namun kekuasaan pula yang membawa hidup para penguasa itu berakhir dengan cerita duka. Para pemimpin korup itu selain dipenjara, ada juga yang harus mengakhiri hidupnya dengan tragis. Dan sialnya, mereka akan selalu dikenang sebagai pemimpin dan rezim yang korup...!

Sudah begitu banyak contoh penguasa yang tersesat dan atau sengaja menempuh jalan kesesatan dan terus memperkaya diri tak peduli dengan penderitaan rakyatnya. Namun sayangnya, hal itu tak pernah dijadikan iktibar (pelajaran) oleh calon-calon penguasa atau mereka yang tengah berkuasa.

Calon penguasa, ketika masih berkampanye selalu mengumbar janji-janji muluk dan meninabobokkan. Tatkala kekuasaan berada dalam genggaman, seperti biasanya, mereka alpa dengan janji-janjinya.

Bahkan selanjutnya, yang selalu mereka pikirkan, bagaimana mempertahankan kekuasaan itu selama mungkin. Satu periode menjadi bupati/ walikota, gubernur, presiden, dianggap belum cukup. Padahal saat menjabat, mereka sebenarnya tak pernah benar-benar memikirkan nasib rakyat.

Kekuasaan memang sering menyesatkan ! Kekuasaan bisa menyebabkan seseorang lupa pada dirinya sendiri, lupa pada anak-istri, lupa pada kaum kerabat, dan lupa pada TuhanNya.

Tetapi, kekuasaan sejatinya juga bisa membawa seseorang pada jalan kemuliaan, jika kekuasaan yang ada di tangan dijadikan sebagai power untuk menegakkan kebenaran dan mengabdi untuk rakyat. Sayangnya, hal itu hanya ada di negeri antah berantah.

Minggu, 06 Juli 2008

Wakil Rakyat tak Merakyat

Hari-hari dan bulan belakangan ini merupakan masa-masa yang sangat sibuk dan menentukan bagi para politisi kita. Tidak lama lagi, segenap parpol di tanah air akan segera menetapkan nama-nama calon legislatif dan daerah pemilihan masing-masing.

Nomor urut dan daerah pemilihan strategis akan menjadi lahan rebutan para politisi tersebut. Mengapa ? Karena hal itu akan sangat menentukan sukses-tidaknya sang politisi meraih kursi anggota dewan.

Menjadi anggota DPR/D sangat didambakan para politisi. Pasalnya, dengan menyandang status sebagai wakil rakyat, masa depan terjamin. Kehidupan pun akan dilalui dengan enak dan penuh dengan berbagai kemudahan.

Sayangnya, kenyamanan hidup sebagai anggota dewan itu, terkadang membuat banyak orang terlena sehingga tak jarang lupa dengan asal-usulnya dan yang lebih mengenaskan lupa pada statusnya sebagai wakil-nya rakyat.

Bahkan yang lebih menggelikan, ada juga wakil rakyat yang lupa pada anak-istrinya di rumah, karena terlalu disibukkan dengan berbagai rapat dan lobi-lobi, yang sayangnya tak ada relevansinya dengan nasib rakyat.

Sebagai representasi rakyat di legislatif, mestinya denyut nadi para anggota dewan itu harus senantiasa dihiasi dengan hentakan suara rakyat. Bukan sebaliknya, lebih suka menyuarakan kepentingan sponsor (eksekutif, pengusaha dan pimpinan partai).

Mengapa para wakil rakyat lupa pada aspirasi rakyat yang telah berjasa mendudukkannya di tempat terhormat dan empuk itu ? Penyebabnya, karena oknum wakil rakyat itu sejatinya memang berkiblat pada kepentingan.

Sayangnya kepentingan dimaksud di sini, tidak terkait dengan kepentingan rakyat, melainkan lebih bermuara pada kepentingan kelompok, partai, dan kepentingan dirinya sendiri.

Karenanya jangan pernah terlalu berharap banyak kepada wakil rakyat. Mereka selamat dari kejaran KPK serta tidak kesandung narkoba dan kasus amoral saja saja pun, selayaknya harus bersyukur.

Wakil rakyat memang kebanyakan tak merakyat, dan persis seperti kata Iwan Fals, mereka lebih sering tertidur ketika sedang membahas nasib rakyat. Duhhh....., nasibmulah rakyat !!!

'Candu Jabatan'

Mantan Gubsu Rudolf Matzuoka Pardede bersama istrinya Vera Natarida Tambunan, mantan Wagubsu yang kini masih Ketua DPRD Sumut H Abdul Wahab Dalimunthe SH, mantan Mennegpora Mahadi Sinambela, telah mengambil formulir pendaftaran untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Sumut periode 2009-2014.

Kabar ini sebenarnya biasa biasa saja. Tidak ada hal yang aneh di situ. Cuma, yang menggelitik kita, kok sepertinya tidak ada kamus berhenti mengejar jabatan dalam diri orang yang sudah lama malang melintang di jagad politik dan birokrasi itu.

Fenomena tersebut memang bukan hanya terjadi di Sumut saja, tetapi juga merebak ke semua penjuru seantero nusantara. Dengan kata lain, seakan-akan 'candu jabatan' sudah demikian merasuk dalam sanubari manusia Indonesia, sehingga tidak pernah mau berhenti mengejar status, yang dianggap terhormat itu.

Begitu banyak orang yang kecanduan jabatan, hingga sering alpa menakar dan mengukur kekuatan diri sendiri. Ketika musim pilkada tiba, orang orang berebut menjadi bakal calon kepala/ wakil kepala daerah, kendati dia menyadari bahwa peluangnya untuk menang sebenarnya tidak signifikan.

Mengapa mereka begitu candu mengejar rupa-rupa jabatan itu ? Penyebabnya tiada lain karena ada anggapan, bahwa hanya dengan memiliki jabatan penting dan posisi terhormat, mereka merasa nyaman dan dihormati banyak orang.

Mereka tak sadar, jabatan juga sering membuat harga diri dan kehormatan keluarga bisa lewong dalam sekejap, seperti sudah dirasakan Yahya Zaini, Burhanuddin Abdullah, Al-Amin Nasution, Max Moein, Bulyan Rohan, dll.

Track record sebagai mantan Gubsu dan Wagubsu, memang bisa jadi akan membuat Rudolf atau Wahab, memiliki peluang besar meraih dukungan suara signifikan sekaligus lolos menjadi anggota DPD.

Tetapi, patut disadari pula, tanpa menjadi anggota DPD pun, Rudolf akan tetap dikenang sebagai salah seorang Gubernur di Sumut yang lulus melewati periodesasi kepemimpinannya, walaupun tanpa prestasi membanggakan.

Dalam konteks demikian, apa yang dilakukan mantan Presiden AS dua periode Bill Clinton, yang sukses meningkatkan pertumbuhan ekonomi di negeri Paman Sam itu, patut dijadikan acuan. Dia lebih memilih mengisi hari harinya dengan menulis buku dan aktif dalam berbagai kegiatan sosial. Dan, Clinton tetap sangat dihormati semua kalangan di AS, termasuk oleh Presiden Bush dan kandidat Presiden dari Partai Demokrat, Barack Obama.

Pada usia yang hampir kepala tujuh, Wahab dan Rudolf sudah saatnya lebih banyak menyediakan waktu untuk bermain dengan cucu-cucunya yang lucu lucu, sekaligus mampu memerankan diri sebagai Guru Bangsa di Sumatera Utara. Horasss, njuah-njuah.

Mengenai Saya

Foto saya
:pemerhati sosial dan politik yang concern dengan pemikiran lintas sektoral,selalu menghargai perbedaan pendapat sekaligus membenci sikap eksklusif dan mau menang sendiri....