"Mohon maaf ya kita tak bisa jumpa hari ini, saya mendadak ke Jakarta," kata seorang pejabat. Padahal saya tahu persis dia berada di kantornya.
"Okelah besok jam 1 siang kita jumpa di kantor ya," kata salah seorang anggota dewan. Eh, besoknya dia enak aja bilang, dirinya tiba-tiba ada urusan ke luar kota.
Ada pula seorang perempuan berjilbab menyatakan dia cuma berteman dengan seorang pria 'gigolo' berbeda keyakinan dengannya, padahal 'orang buta' pun tau antara keduanya terlibat perselingkuhan memalukan.
Begitulah tabiat dan perilaku sejumlah hamba Allah saat ini, yang tak lagi takut kepada Tuhan. Mereka tak lagi peduli, mana yang benar, mana yang salah.
Berbohong seakan-akan sudah dianggap bukan sebuah perbuatan dosa. Bohong sudah dianggap hal yang lumrah. "Kalau bisa berbohong, buat apa jujur". Mungkin begitu prinsip yang mereka anut.
Berbohong atau berkata dusta, sudah dianggap sebagai sebuah tradisi dan bahagian dari strategi perjuangan alias menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan (Machiavelisme). Alaaamak.
Ketika bohong tak lagi dianggap dosa, akan semakin sulit menemukan orang yang bisa dipercaya dan semakin sukar pula menemukan sahabat sejati. Yang menonjol, adalah budaya dan sikap gampang curiga.
Ketika bohong sudah mendarahdaging, dapat dipastikan seseorang tidak akan pernah lagi dipercaya oleh siapa pun, termasuk oleh anak istrinya.
Kalau anak dan istri pun sudah tak pernah lagi percaya kepada Anda, lebih baik segera saja pensiun (dini) dari dunia ini (life is over).
Selasa, 05 Agustus 2008
Sabtu, 02 Agustus 2008
Open Your Jilbab
Islam menganjurkan kepada umatnya agar menutupi auratnya. Bagi kaum perempuan, cuma muka dan telapak tangan yang boleh diperlihatkan. Selain itu harus ditutup. Salah satu caranya dengan mengenakan jilbab.
Soal keharusan memakai jilbab di negeri ini, perkembangannya cukup menggembirakan. Bahkan sejumlah artis kita, yang dulu suka mengumbar aurat pun sudah mulai konsisten mengenakan jilbab.
Ratih Sang, Marissa Haque, Novia Kolopaking, Inneke Koesherawati, Annisa Trihapsari, Zaskia Adya Mecca, adalah beberapa contoh artis yang tampil anggun dengan jilbab.
Sayangnya, terdapat pula sejumlah artis yang bolak-balik umroh, tapi tak kunjung 'berani' memakai jilbab dalam kesehariannya.
Menutupi aurat memang wajib hukumnya. Tapi patut diingat, mengenakan jilbab tidak dengan sendirinya aurat, telah tertutupi.Ajaran Islam juga menggarisbawahi, agar kaum muslimah tidak memperlihatkan lekak lekuk tubuhnya.
Itulah sebabnya, kita sangat prihatin dengan cara berbusana kaum muslimah saat ini, yang belum bisa berjilbab secara baik dan benar.
Masih sangat banyak perempuan muslim tak segan-segan memakai t shirt & celana jins super ketat, padahal dirinya berjilbab. Sikap seperti ini bisa disebut sebagai pelecahan terhadap jilbab, yang notabene telah dianggap sebagai busana muslimah.
Bahkan cilakanya, masih terdapat pula perempuan berjilbab terlibat perselingkuhan. Dia tak merasa sungkan 'ngamar' dengan lelaki bukan muhrimnya, lengkap dengan jilbabnya. Nauzu billah min-dzalik.
Bagi mereka yang berjilbab sekadar untuk menutupi uban di kepalanya atau supaya lebih kelihatan anggun, alias berjilbab bukan karena keinginan menutup uratnya, saya imbau : open your jilbab !
Soal keharusan memakai jilbab di negeri ini, perkembangannya cukup menggembirakan. Bahkan sejumlah artis kita, yang dulu suka mengumbar aurat pun sudah mulai konsisten mengenakan jilbab.
Ratih Sang, Marissa Haque, Novia Kolopaking, Inneke Koesherawati, Annisa Trihapsari, Zaskia Adya Mecca, adalah beberapa contoh artis yang tampil anggun dengan jilbab.
Sayangnya, terdapat pula sejumlah artis yang bolak-balik umroh, tapi tak kunjung 'berani' memakai jilbab dalam kesehariannya.
Menutupi aurat memang wajib hukumnya. Tapi patut diingat, mengenakan jilbab tidak dengan sendirinya aurat, telah tertutupi.Ajaran Islam juga menggarisbawahi, agar kaum muslimah tidak memperlihatkan lekak lekuk tubuhnya.
Itulah sebabnya, kita sangat prihatin dengan cara berbusana kaum muslimah saat ini, yang belum bisa berjilbab secara baik dan benar.
Masih sangat banyak perempuan muslim tak segan-segan memakai t shirt & celana jins super ketat, padahal dirinya berjilbab. Sikap seperti ini bisa disebut sebagai pelecahan terhadap jilbab, yang notabene telah dianggap sebagai busana muslimah.
Bahkan cilakanya, masih terdapat pula perempuan berjilbab terlibat perselingkuhan. Dia tak merasa sungkan 'ngamar' dengan lelaki bukan muhrimnya, lengkap dengan jilbabnya. Nauzu billah min-dzalik.
Bagi mereka yang berjilbab sekadar untuk menutupi uban di kepalanya atau supaya lebih kelihatan anggun, alias berjilbab bukan karena keinginan menutup uratnya, saya imbau : open your jilbab !
Sabtu, 26 Juli 2008
Parpol & Monopoli Ketua
Elite partai politik sering mengidentifikasi diri sebagai pionir penegakan demokrasi. Parpol juga masih dianggap sebagai kawah candradimuka pematangan kemampuan berdemokrasi.
Tetapi, sesungguhnya disadari atau tidak, fenomena yang berkembang di tubuh parpol kita selama ini justru memberikan gambaran yang sangat jauh melenceng dari identifikasi dan anggapan umum tentang keberadaan parpol tersebut.
Yang dominan dan berlaku dalam tubuh parpol kita adalah personalisasi ; semua keputusan yang berlaku tergantung dan terserah Ketua.
"Saya tak bisa memutuskan, tolong hubungi Pak Ketua saja," begitu ungkapan salah seorang pimpinan parpol ketika ditanya, apakah parpolnya bisa memberikan dukungan kepada salah satu bakal calon kepala daerah.
Hal seperti ini biasa dan sangat lazim terjadi. Salah seorang Ketua Tim Pilkada parpol besar di Sumut misalnya mengeluh, dirinya percuma saja capek-capek melakukan lobi-lobi dan survei ke lapangan perihal siapa figur bakal calon kepala daerah yang disukai rakyat.
"Ujung-ujungnya, keputusan akhir ditentukan Ketua dan Sekretaris. Apapun rekomendasi kita, kalau Ketua tak berkenan percuma saja," ujarnya.
Megawati Soekarnoputri, Jusuf Kalla, Sutrisno Bachir, Suryadharma Ali, sebagai Ketua Umum partai, ucapan dan tindakannya sudah dianggap seperti undang-undang bagi para pengurus dan kader partai.
Apa yang diputuskan Megawati misalnya, tentu mustahil bagi kader PDIP untuk membantah dan mengangkanginya. Kalau berani, siap-siaplah direcall dan atau tidak lagi dipakai menjadi pengurus.
Monopoli Ketua yang sangat dominan itu sudah pasti menimbulkan iklim yang tidak sehat di tubuh parpol.
Parpol bicara dan menekankan pentingnya menegakkan nilai-nilai demokrasi, tak dinyana para pimpinan parpol sendiri cenderung bergaya dan bersikap diktator.
Itulah sebabnya aktivis parpol yang suka mengikuti hati nurani dan tidak pandai 'menjilat', kerap tidak mendapat peran penting di internal partai, dan akhirnya lebih memilih keluar dari parpol yang dimenej bak sebuah 'kerajaan' itu.
Tetapi, sesungguhnya disadari atau tidak, fenomena yang berkembang di tubuh parpol kita selama ini justru memberikan gambaran yang sangat jauh melenceng dari identifikasi dan anggapan umum tentang keberadaan parpol tersebut.
Yang dominan dan berlaku dalam tubuh parpol kita adalah personalisasi ; semua keputusan yang berlaku tergantung dan terserah Ketua.
"Saya tak bisa memutuskan, tolong hubungi Pak Ketua saja," begitu ungkapan salah seorang pimpinan parpol ketika ditanya, apakah parpolnya bisa memberikan dukungan kepada salah satu bakal calon kepala daerah.
Hal seperti ini biasa dan sangat lazim terjadi. Salah seorang Ketua Tim Pilkada parpol besar di Sumut misalnya mengeluh, dirinya percuma saja capek-capek melakukan lobi-lobi dan survei ke lapangan perihal siapa figur bakal calon kepala daerah yang disukai rakyat.
"Ujung-ujungnya, keputusan akhir ditentukan Ketua dan Sekretaris. Apapun rekomendasi kita, kalau Ketua tak berkenan percuma saja," ujarnya.
Megawati Soekarnoputri, Jusuf Kalla, Sutrisno Bachir, Suryadharma Ali, sebagai Ketua Umum partai, ucapan dan tindakannya sudah dianggap seperti undang-undang bagi para pengurus dan kader partai.
Apa yang diputuskan Megawati misalnya, tentu mustahil bagi kader PDIP untuk membantah dan mengangkanginya. Kalau berani, siap-siaplah direcall dan atau tidak lagi dipakai menjadi pengurus.
Monopoli Ketua yang sangat dominan itu sudah pasti menimbulkan iklim yang tidak sehat di tubuh parpol.
Parpol bicara dan menekankan pentingnya menegakkan nilai-nilai demokrasi, tak dinyana para pimpinan parpol sendiri cenderung bergaya dan bersikap diktator.
Itulah sebabnya aktivis parpol yang suka mengikuti hati nurani dan tidak pandai 'menjilat', kerap tidak mendapat peran penting di internal partai, dan akhirnya lebih memilih keluar dari parpol yang dimenej bak sebuah 'kerajaan' itu.
Jumat, 25 Juli 2008
Fanatisme Bollywood
Saya merasa bersyukur, karena sebagai penonton film, saya tidak fanatis kepada jenis film tertentu. Sejak masih duduk di bangku sekolah dasar hingga sekarang, saya menyukai segala jenis film.
Ketika masih kanak-kanak dan menjelang remaja saya sudah akrab dengan nama-nama bintang film terkenal dari negeri sungai Gangga semisal Dev Anand, Dharmendra, Amitabh Bachchan, Shashi Kapoor, Shatrughan Sinha, Sharmila Tagore, Hema Malini, Zeenat Aman, Mumtaz, Rekha atau Jaya Bhaduri.
Saya juga masih terkenang dengan film-film yang dibintangi Chen Kuan Thai, Fu Sheng, Chen Sing, David Chiang, Wang Tao, Lin Ching Sia, Carina Lau, atau aktor-aktor Hollywood semisal Marlon Brando, Charles Bronson, Jean Paul Belmondo, Raquel Welch, Gina Lollogribida, Ursula Andress, Jacqueline Bisset, dll.
Namun industri film Bollywood, memang sebuah perkecualian dan sangat berbeda dibandingkan dengan industri film negara lain. Bollywood seolah tidak mengenal pasang surut seperti halnya industri film Indonesia.
Bollywood tetap eksis, sejak mulai ada sekitar tahun 40-an hingga sekarang.Setiap tahun dari ratusan film yang diproduksi, terdapat puluhan film yang berstatus mega hit, hit, semi hit, dan flop.
Sungguh mencengangkan, industri film negerinya Mahatma Gandhi itu sama sekali tidak terpengaruh dengan maraknya televisi swasta dan berbagai jenis hiburan lainnya. Last not but least, film impor dari Hollywood justru jarang mendapat tempat di negeri itu.
Karena pesatnya produksi film di sana, tak mengherankan bila aktor sekaliber Dharmendra, Shashi Kapoor, Rishi Kapoor, Amitabh Bachchan, Mithun Chakraborthy, Govinda, sudah membintangi 100 hingga 200 film sepanjang karier mereka.
Apresiasi masyarakat terhadap bintang-bintang layar perak itu juga sungguh mengejutkan dan terkadang tak masuk akal. Masyarakat India misalnya, sering memperlakukan para aktor legendaris dan top sekaliber Raj Kapoor, Dilip Kumar, Dharmendra, Amitabh 'Big B' Bachchan, Salman Khan, Shahrukh Khan, bak 'dewa' yang datang dari planet lain.
Ya, mereka memang sangat fanatis. Ketika Dharmendra, Sunil Dutt, Big B, Hema Malini, Vinod Khanna, Govinda, Jayalalitha, atau Jaya Prada misalnya suatu ketika ingin beralih profesi menjadi politisi, mereka dengan sangat mudah mendulang suara dan menghantarkan mereka menjadi anggota parlemen.
Fanatisme masyarakat India sebenarnya tak berhenti pada film produk Bollywood saja.Di negeri itu juga muncul istilah Tollywood dan Kollywood, sebutan untuk karya film dihasilkan sineas daerah dari Tamil, Telugu dan Malayalam.
Tepatnya, di sana juga berkembang pesat film berbahasa daerah yang memiliki pangsa pasar tersendiri. Kalau di negeri kita, mungkin film berbahasa Batak, Sunda atau Jawa.
Begitu fanatisnya mereka terhadap film karya sendiri. Sampai-sampai film Bollywood (berpusat di kota Mumbai) dan beredar ke seluruh negeri, dianggap belum cukup, sehingga dipandang perlu membesut film dari daerah sendiri.
Dan sineas di daerah-daerah India tadi bukan sekadar hadir, melainkan bekerja sangat profesional. Industri perfilman daerah ini juga melahirkan nama-nama melegenda seperti Sivaji Ganeshan, Jayalalitha,Rajnikant,Kamal Hassan, Chiranjeevi, Nagarjuna, Vijaykant, Sarath Kumar, Gowthami, Radhika, Khushboo, Simran, Rambha, dll.
Bahkan music director number one di Bollywood saat ini, AR Rahman, justru tumbuh dan memulai kariernya dari perfilman daerah di Chennai (Tamil).
Kalau dihitung semua film karya sineas India itu, mungkin terdapat ribuan film yang dihasilkan setiap tahunnya. Sangat njomplang bila dibandingkan dengan produksi film Indonesia. Di tengah booming film horor setahun silam pun, jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari.
Kecintaan masyarakat mayoritas beragama Hindu itu terhadap film karya anak negeri sungguh mengagumkan. Fanatisme Bollywood tidak ada tandingannya dan tidak akan pernah luntur sepanjang zaman. Namaste...mera dosti, jaihind.
Ketika masih kanak-kanak dan menjelang remaja saya sudah akrab dengan nama-nama bintang film terkenal dari negeri sungai Gangga semisal Dev Anand, Dharmendra, Amitabh Bachchan, Shashi Kapoor, Shatrughan Sinha, Sharmila Tagore, Hema Malini, Zeenat Aman, Mumtaz, Rekha atau Jaya Bhaduri.
Saya juga masih terkenang dengan film-film yang dibintangi Chen Kuan Thai, Fu Sheng, Chen Sing, David Chiang, Wang Tao, Lin Ching Sia, Carina Lau, atau aktor-aktor Hollywood semisal Marlon Brando, Charles Bronson, Jean Paul Belmondo, Raquel Welch, Gina Lollogribida, Ursula Andress, Jacqueline Bisset, dll.
Namun industri film Bollywood, memang sebuah perkecualian dan sangat berbeda dibandingkan dengan industri film negara lain. Bollywood seolah tidak mengenal pasang surut seperti halnya industri film Indonesia.
Bollywood tetap eksis, sejak mulai ada sekitar tahun 40-an hingga sekarang.Setiap tahun dari ratusan film yang diproduksi, terdapat puluhan film yang berstatus mega hit, hit, semi hit, dan flop.
Sungguh mencengangkan, industri film negerinya Mahatma Gandhi itu sama sekali tidak terpengaruh dengan maraknya televisi swasta dan berbagai jenis hiburan lainnya. Last not but least, film impor dari Hollywood justru jarang mendapat tempat di negeri itu.
Karena pesatnya produksi film di sana, tak mengherankan bila aktor sekaliber Dharmendra, Shashi Kapoor, Rishi Kapoor, Amitabh Bachchan, Mithun Chakraborthy, Govinda, sudah membintangi 100 hingga 200 film sepanjang karier mereka.
Apresiasi masyarakat terhadap bintang-bintang layar perak itu juga sungguh mengejutkan dan terkadang tak masuk akal. Masyarakat India misalnya, sering memperlakukan para aktor legendaris dan top sekaliber Raj Kapoor, Dilip Kumar, Dharmendra, Amitabh 'Big B' Bachchan, Salman Khan, Shahrukh Khan, bak 'dewa' yang datang dari planet lain.
Ya, mereka memang sangat fanatis. Ketika Dharmendra, Sunil Dutt, Big B, Hema Malini, Vinod Khanna, Govinda, Jayalalitha, atau Jaya Prada misalnya suatu ketika ingin beralih profesi menjadi politisi, mereka dengan sangat mudah mendulang suara dan menghantarkan mereka menjadi anggota parlemen.
Fanatisme masyarakat India sebenarnya tak berhenti pada film produk Bollywood saja.Di negeri itu juga muncul istilah Tollywood dan Kollywood, sebutan untuk karya film dihasilkan sineas daerah dari Tamil, Telugu dan Malayalam.
Tepatnya, di sana juga berkembang pesat film berbahasa daerah yang memiliki pangsa pasar tersendiri. Kalau di negeri kita, mungkin film berbahasa Batak, Sunda atau Jawa.
Begitu fanatisnya mereka terhadap film karya sendiri. Sampai-sampai film Bollywood (berpusat di kota Mumbai) dan beredar ke seluruh negeri, dianggap belum cukup, sehingga dipandang perlu membesut film dari daerah sendiri.
Dan sineas di daerah-daerah India tadi bukan sekadar hadir, melainkan bekerja sangat profesional. Industri perfilman daerah ini juga melahirkan nama-nama melegenda seperti Sivaji Ganeshan, Jayalalitha,Rajnikant,Kamal Hassan, Chiranjeevi, Nagarjuna, Vijaykant, Sarath Kumar, Gowthami, Radhika, Khushboo, Simran, Rambha, dll.
Bahkan music director number one di Bollywood saat ini, AR Rahman, justru tumbuh dan memulai kariernya dari perfilman daerah di Chennai (Tamil).
Kalau dihitung semua film karya sineas India itu, mungkin terdapat ribuan film yang dihasilkan setiap tahunnya. Sangat njomplang bila dibandingkan dengan produksi film Indonesia. Di tengah booming film horor setahun silam pun, jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari.
Kecintaan masyarakat mayoritas beragama Hindu itu terhadap film karya anak negeri sungguh mengagumkan. Fanatisme Bollywood tidak ada tandingannya dan tidak akan pernah luntur sepanjang zaman. Namaste...mera dosti, jaihind.
Selasa, 22 Juli 2008
Latah Jadi Caleg
Ada fenomena menarik menjelang Pemilu (legislatif) 2009. Saat ini banyak orang latah menjadi calon legislatif (caleg).
Tak cuma orang berduit saja yang tertarik jadi caleg. Artis, wartawan, mantan pejabat, berlomba-lomba mendaftar menjadi caleg. Bahkan ironisnya sejumlah kaum pengangguran juga tak ketinggalan ngantri menjadi caleg.
Terungkapnya kebobrokan sejumlah anggota dewan, yang menyebabkan mereka terpaksa mendekam di hotel prodeo, ternyata tak menurunkan antusiasme banyak kalangan menjadi caleg.
Banyaknya jumlah parpol (34) peserta Pemilu 2009 memang membuat kans menjadi caleg sangat terbuka lebar. Bahkan parpol baru pun cenderung menemui kesulitan mencari caleg.
Konsekuensinya,pimpinan parpol terpaksa merekrut orang-orang dekatnya atau siapapun yang berminat jadi caleg demi memenuhi kuota minimum daftar caleg yang harus didaftarkan ke KPU. Mereka beranggapan, semakin banyak daftar nama caleg yang didaftarkan akan semakin positif pula imej parpol di tengah masyarakat.
Karena butuh banyak orang mengisi jatah menjadi caleg itu, bisa ditebak, rekrutmen caleg akhirnya dilakukan secara sembarangan alias tanpa seleksi dan kriteria yang jelas.
Jadi, kita tidak perlu heran dan terkejut, bila para bandit, koruptor, jagoan selingkuh, wartawan asli tapi palsu (punya media resmi tapi sama sekali tak pernah bikin berita), lolos jadi anggota dewan periode 2009-2014.
Jika itu yang terjadi, kita hanya bisa berharap agar KPK melebarkan sayapnya hingga ke daerah, supaya para anggota dewan tak berbobot dan sibuk memperkaya diri itu bisa segera mengikuti jejak M Yahya Zaini, Al-Amin Nasution, Bulyan Royan, Yusuf Amir Faisal, dll.
Tak cuma orang berduit saja yang tertarik jadi caleg. Artis, wartawan, mantan pejabat, berlomba-lomba mendaftar menjadi caleg. Bahkan ironisnya sejumlah kaum pengangguran juga tak ketinggalan ngantri menjadi caleg.
Terungkapnya kebobrokan sejumlah anggota dewan, yang menyebabkan mereka terpaksa mendekam di hotel prodeo, ternyata tak menurunkan antusiasme banyak kalangan menjadi caleg.
Banyaknya jumlah parpol (34) peserta Pemilu 2009 memang membuat kans menjadi caleg sangat terbuka lebar. Bahkan parpol baru pun cenderung menemui kesulitan mencari caleg.
Konsekuensinya,pimpinan parpol terpaksa merekrut orang-orang dekatnya atau siapapun yang berminat jadi caleg demi memenuhi kuota minimum daftar caleg yang harus didaftarkan ke KPU. Mereka beranggapan, semakin banyak daftar nama caleg yang didaftarkan akan semakin positif pula imej parpol di tengah masyarakat.
Karena butuh banyak orang mengisi jatah menjadi caleg itu, bisa ditebak, rekrutmen caleg akhirnya dilakukan secara sembarangan alias tanpa seleksi dan kriteria yang jelas.
Jadi, kita tidak perlu heran dan terkejut, bila para bandit, koruptor, jagoan selingkuh, wartawan asli tapi palsu (punya media resmi tapi sama sekali tak pernah bikin berita), lolos jadi anggota dewan periode 2009-2014.
Jika itu yang terjadi, kita hanya bisa berharap agar KPK melebarkan sayapnya hingga ke daerah, supaya para anggota dewan tak berbobot dan sibuk memperkaya diri itu bisa segera mengikuti jejak M Yahya Zaini, Al-Amin Nasution, Bulyan Royan, Yusuf Amir Faisal, dll.
Jumat, 18 Juli 2008
Dicari, Pemimpin Alternatif !
Ajang perhelatan pilpres 2009, tidak lama lagi. Sejumlah nama sudah mulai sibuk mempersiapkan segala sesuatu agar dapat tampil sebagai peserta pemilihan presiden itu.
Sayangnya nama-nama yang disebut-sebut akan tampil dalam pesta demokrasi maha penting itu, tidak ada yang meyakinkan alias belum ada yang memberi harapan baru mencerahkan bagi rakyat.
Figur yang disebut dan berambisi menjadi RI-1 masih tetap itu-itu saja. Sebutlah misalnya Presiden (incumbent) SBY, Jusuf Kalla, Megawati Soekarnoputri, Gus Dur, Amien Rais, Sri Sultan Hamengkubowono, Wiranto, Sutiyoso, dan Prabowo Subianto.
Dari semua nama kandidat Presiden RI ini, sudah jelas rekam jejaknya dan sudah ketahuan pula plus-minusnya. Dengan kata lain, semuanya tidak ada yang benar-benar bisa diharapkan membawa Indonesia menuju perubahan radikal (ke arah kebaikan).
SBY, yang dulu begitu diyakini akan bisa memberi perubahan mendasar bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Ternyata prestasinya bisa dibilang biasa-biasa saja, bahkan bisa dianggap gagal dalam mewujudkan janji-janji kampanyenya.
Dari beberapa nama itu, sebetulnya Amien Rais masih bisa diharapkan sebagai pemimpin alternatif, karena sosoknya yang berbeda ; memiliki kecerdasan intelektual di atas rata-rata, punya keberanian, serta relatif bersih dari KKN dan dosa politik di masa lalu.
Sayangnya seperti halnya Wiranto dan Megawati, Amien telah pernah gagal saat ikut bersaing dalam Pilpres 2004. Orang yang sudah pernah gagal, sulit untuk bisa comeback. Lagi pula usia mantan Ketua MPR ini sudah relatif tua.
Sebenarnya rakyat mendambakan sosok pemimpin alternatif ; yang masih muda, energik, tidak punya track record politik yang kelam di masa silam, serta punya kapasitas dalam memimpin.
Sosok yang dimaksud mungkin seperti Barack Hussein Obama di AS atau Medvedev di Rusia.
Figur seperti Obama dan Medvedev, saat ini sulit menemukannya di negeri ini. Para politisi muda yang banyak menghiasi panggung politik nasional saat ini justru sudah banyak terkontaminansi akibat budaya politik tak sehat di Senayan dan di internal parpol.
Sementara mantan aktivis ekstra kampus hingga kini belum ada terlihat menonjol. Di sisi lain mereka yang dianggap kredibel saat ini lebih banyak menggeluti profesi sebagai akademisi, peneliti, pengamat atau malah mendompleng di bawah ketiak para politisi senior.
Karena ketiadaan figur pemimpin alternatif yang diharapkan bisa membawa rakyat menuju Indonesia Baru (the new Indonesian) yang benar-benar bebas KKN, besar kemungkinan SBY akan kembali terpilih sebagai Presiden periode kedua, karena rakyat tidak punya pilihan lain (not another choice).
Sayangnya nama-nama yang disebut-sebut akan tampil dalam pesta demokrasi maha penting itu, tidak ada yang meyakinkan alias belum ada yang memberi harapan baru mencerahkan bagi rakyat.
Figur yang disebut dan berambisi menjadi RI-1 masih tetap itu-itu saja. Sebutlah misalnya Presiden (incumbent) SBY, Jusuf Kalla, Megawati Soekarnoputri, Gus Dur, Amien Rais, Sri Sultan Hamengkubowono, Wiranto, Sutiyoso, dan Prabowo Subianto.
Dari semua nama kandidat Presiden RI ini, sudah jelas rekam jejaknya dan sudah ketahuan pula plus-minusnya. Dengan kata lain, semuanya tidak ada yang benar-benar bisa diharapkan membawa Indonesia menuju perubahan radikal (ke arah kebaikan).
SBY, yang dulu begitu diyakini akan bisa memberi perubahan mendasar bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Ternyata prestasinya bisa dibilang biasa-biasa saja, bahkan bisa dianggap gagal dalam mewujudkan janji-janji kampanyenya.
Dari beberapa nama itu, sebetulnya Amien Rais masih bisa diharapkan sebagai pemimpin alternatif, karena sosoknya yang berbeda ; memiliki kecerdasan intelektual di atas rata-rata, punya keberanian, serta relatif bersih dari KKN dan dosa politik di masa lalu.
Sayangnya seperti halnya Wiranto dan Megawati, Amien telah pernah gagal saat ikut bersaing dalam Pilpres 2004. Orang yang sudah pernah gagal, sulit untuk bisa comeback. Lagi pula usia mantan Ketua MPR ini sudah relatif tua.
Sebenarnya rakyat mendambakan sosok pemimpin alternatif ; yang masih muda, energik, tidak punya track record politik yang kelam di masa silam, serta punya kapasitas dalam memimpin.
Sosok yang dimaksud mungkin seperti Barack Hussein Obama di AS atau Medvedev di Rusia.
Figur seperti Obama dan Medvedev, saat ini sulit menemukannya di negeri ini. Para politisi muda yang banyak menghiasi panggung politik nasional saat ini justru sudah banyak terkontaminansi akibat budaya politik tak sehat di Senayan dan di internal parpol.
Sementara mantan aktivis ekstra kampus hingga kini belum ada terlihat menonjol. Di sisi lain mereka yang dianggap kredibel saat ini lebih banyak menggeluti profesi sebagai akademisi, peneliti, pengamat atau malah mendompleng di bawah ketiak para politisi senior.
Karena ketiadaan figur pemimpin alternatif yang diharapkan bisa membawa rakyat menuju Indonesia Baru (the new Indonesian) yang benar-benar bebas KKN, besar kemungkinan SBY akan kembali terpilih sebagai Presiden periode kedua, karena rakyat tidak punya pilihan lain (not another choice).
Jumat, 11 Juli 2008
Kompetensi, Tak Tergantung Jabatan
Seorang teman saya, dulu sama-sama menjadi jurnalis. Kini sudah sekitar empat tahun duduk dengan bangganya sebagai anggota legislatif.
Banyak sudah perubahan dalam dirinya. Tentu yang paling mencolok, soal performance dan kepribadiannya. Karena sudah jadi anggota dewan, teman saya ini tak lagi punya waktu luang untuk sekadar ngobrol dengan teman-temannya dulu di kantin dewan.
Cuma satu hal yang tak berubah dari teman saya itu. Ternyata dia masih tetap seperti dulu, seorang jurnalis biasa-biasa saja, tak punya nilai plus seperti jurnalis berkelas di Sumut semisal sulben siagian, nian poloan, riza fakhrumi tahir, mayjen simanungkalit, toga nainggolan, abyadi siregar, ali murtadho, dll.
Ketika telah berstatus sebagai anggota dewan, teman saya ini sama sekali tak pernah 'dihitung' dan dikenal sebagai wakilnya rakyat. Dia hanya sebatas pelengkap administrasi dan berhak menerima honor setiap bulannya.
Mengapa demikian ? Ternyata, teman saya itu cuma kebetulan saja lolos jadi anggota dewan karena menjelang Pemilu 2004 lalu, ditawari jadi caleg oleh parpol baru yang kelimpungan mencari caleg perempuan.
Peran dan keberadaan seseorang dalam sebuah institusi apa pun, tak ditentukan dan tidak selamanya tergantung pada jabatan.
Orang-orang seperti amien rais, goenawan mohamad, kwik kian gie, emha ainun nadjib, ws rendra, eros djarot, gus dur, franz magnis suseno, sofyan tan, dll ; akan tetap dikenang dan dicari, dengan atau tanpa jabatan apa pun.
Sebaliknya orang seperti al-amin nasution, max moein, bulyan rohan, dan beberapa menteri hanya sekadar numpang lewat saja karena kebetulan mereka memiliki jabatan yang dianggap terhormat.
Jabatan apa pun yang melekat dalam diri seseorang, tidak akan membuatnya dominan dalam memberi pengaruh positif terhadap policy institusi dipimpinnya jika tidak memiliki kompetensi (capability and acceptability).
Jabatan hanyalah sebuah kesempatan dan dalam terminologi orang Timur sangat banyak dipengaruhi 'suratan tangan'. Sedangkan kompetensi mewujud karena terus diasah lewat proses pembelajaran (educated) serta kemauan untuk terus membenahi diri (learning by doing).
Banyak sudah perubahan dalam dirinya. Tentu yang paling mencolok, soal performance dan kepribadiannya. Karena sudah jadi anggota dewan, teman saya ini tak lagi punya waktu luang untuk sekadar ngobrol dengan teman-temannya dulu di kantin dewan.
Cuma satu hal yang tak berubah dari teman saya itu. Ternyata dia masih tetap seperti dulu, seorang jurnalis biasa-biasa saja, tak punya nilai plus seperti jurnalis berkelas di Sumut semisal sulben siagian, nian poloan, riza fakhrumi tahir, mayjen simanungkalit, toga nainggolan, abyadi siregar, ali murtadho, dll.
Ketika telah berstatus sebagai anggota dewan, teman saya ini sama sekali tak pernah 'dihitung' dan dikenal sebagai wakilnya rakyat. Dia hanya sebatas pelengkap administrasi dan berhak menerima honor setiap bulannya.
Mengapa demikian ? Ternyata, teman saya itu cuma kebetulan saja lolos jadi anggota dewan karena menjelang Pemilu 2004 lalu, ditawari jadi caleg oleh parpol baru yang kelimpungan mencari caleg perempuan.
Peran dan keberadaan seseorang dalam sebuah institusi apa pun, tak ditentukan dan tidak selamanya tergantung pada jabatan.
Orang-orang seperti amien rais, goenawan mohamad, kwik kian gie, emha ainun nadjib, ws rendra, eros djarot, gus dur, franz magnis suseno, sofyan tan, dll ; akan tetap dikenang dan dicari, dengan atau tanpa jabatan apa pun.
Sebaliknya orang seperti al-amin nasution, max moein, bulyan rohan, dan beberapa menteri hanya sekadar numpang lewat saja karena kebetulan mereka memiliki jabatan yang dianggap terhormat.
Jabatan apa pun yang melekat dalam diri seseorang, tidak akan membuatnya dominan dalam memberi pengaruh positif terhadap policy institusi dipimpinnya jika tidak memiliki kompetensi (capability and acceptability).
Jabatan hanyalah sebuah kesempatan dan dalam terminologi orang Timur sangat banyak dipengaruhi 'suratan tangan'. Sedangkan kompetensi mewujud karena terus diasah lewat proses pembelajaran (educated) serta kemauan untuk terus membenahi diri (learning by doing).
Langganan:
Postingan (Atom)
Mengenai Saya
- perspektif agus salim ujung
- :pemerhati sosial dan politik yang concern dengan pemikiran lintas sektoral,selalu menghargai perbedaan pendapat sekaligus membenci sikap eksklusif dan mau menang sendiri....